Tuesday, January 17, 2012

Jalur Gedong Songo yang Hilang


Perjalanan ini kami beri wacana "Pendakian Wisata Gn.Ungaran", rencana kami disana tidak hanya melakukan pendakian namun menjelajahi salah satu situs purbakala yang ada di negeri ini. Ungaran adalah nama yang muncul saat kami berdebat panjang untuk menggantikan posisi Semeru, pilihan yang aman bagi kami dari segi biaya, waktu dan juga medan.


Menurut literatur yang kami baca, gunung ini dapat didaki melalui Gedong songo dan Jimbaran, namun dari referensi yang kami miliki, lebih banyak bercerita mengenai obyek wisata Candi Gedong songo. Data pendakian dari Gedong songo sangat kurang apalagi data pendakian melalui Jimbaran. Dengan kondisi seperti ini kami putuskan untuk mendaki melalui jalur Gedong songo yang akses menuju kesana sudah ketahui dari literatur.

Sabtu 8 April 2006 pukul 20.05, 5 orang anggota tim (Fajri, Acil, Siti, Zakiah & Aca) berkumpul di stasiun Senen menunggu kedatangan kereta Tawang Jaya jurusan Semarang Poncol. Amsi dan Salma ikut mengiringi kami sambil memberikan data mengenai jalur Jimbaran, terlambat memang karena kami sudah sepakat untuk mendaki lewat Gedong songo. Pukul 21.20 kereta bergerak meninggalkan Jakarta.

Minggu 9 April 2006 pukul 06.35 kereta tiba di stasiun Poncol, dengan menggunakan mobil carteran kami menuju Jl.Cipto, jalan dimana bis jurusan Ambarawa biasa ngetem. Pukul 09.15 kami tiba di Ambarawa, disambung dengan angkutan yang mengantarkan kami hingga pertigaan Gedong songo. Tidak ada angkutan dari sini kecuali ojek motor, untuk pemanasan kami berjalan kaki kurang lebih 6 km di jalan aspal dengan sudut kemiringan hingga 60 derajat.
 
Pukul 10.45 kami sudah berada di depan pintu masuk obyek wisata Gedong songo yang hari ini cukup ramai dikunjungi turis domestik, kami sempat bertanya kepada penjaga parkir, penjaga loket, dan petugas kebersihan mengenai rute pendakian dari tempat ini, namun tidak ada jawaban yang dapat memuaskan kami.

Setelah beristirahat sambil mencicipi sate kelinci, pukul 13.10 kami memulai pendakian dengan terlebih dahulu singgah pada candi I yang terletak tidak jauh dari pintu masuk. Sejak pukul 11.00 cuaca di Gedong songo tidak menentu, kadang hujan, kadang berkabut, kemudian sesekali cerah.

Tiba pada sebuah warung kami bertanya mengenai jalur pendakian, penjaga warung tidak dapat menjelaskan secara rinci jalur pendakian karena sangat jarang pendaki melalui jalur Gedong songo. Ada seorang pemuda dan kami diarahkan pada jalan yang menuju luar pagar komplek candi untuk menuju jalur pendakian...Belum sempat kami beranjak hujan kembali turun.

Kami berjalan melewati ladang penduduk kemudian mencoba mendaki dan menemui jalan buntu, lalu turun dan berjalan mengitari area ladang. Kami berjalan sambil menuju bagian yang lebih tinggi sambil memperhatikan 'jejak' pendaki yang sengaja ditinggalkan namun jalur tidak juga kami temukan, berulang kali kami baca literatur yang kami bawa..hasilnya nihil.

Hampir empat jam kami berkutat mencari jalur pendakian hingga tiba pada sebuah jurang yang membuat kami putus asa untuk melanjutkan perjalanan, hujan sudah reda dan langit kembali cerah. Kami sedikit terhibur karena dapat menyaksikan keindahan Merbabu, Telomoyo dan Merapi yang tampak begitu dekat, di kejauhan Sindoro nampak agak pucat diselimuti kabut.

Kami kembali menuju warung tempat kami tadi bertanya, kira-kira 30 menit kami sudah tiba disana dan bertemu seorang ibu pembawa kayu bakar. Jalur menuju puncak adalah tetap lurus hingga berakhirnya jalan berbatu tidak berbelok ke kanan keluar pagar, itu yang kami dapat dari ibu tadi. Ditambahkan lagi jika hujan seperti ini jalur pendakian bisa sangat becek dan kadang rusak, sehingga disarankan untuk memulai perjalanan keesokan harinya.

Kami sendiri pesimis untuk melanjutkan perjalanan, karena cuaca yang buruk pesona Ungaran mungkin tidak dapat kami nikmati secara utuh, selain itu siapa bisa menjamin kalau keesokan hari cuaca akan bersahabat dengan kami. Akhirnya kami putuskan untuk melancong ke tempat kerabat di Jogja, menikmati Malioboro dan mengunjungi Borobudur.

Kegagalan kami mencapai puncak membuat kami berfikir untuk kemudian bersyukur karena kami masih dapat berfikir jernih dengan logika. Puncak bukanlah segalanya, ketinggian bukanlah yang utama. Keselamatan dan kepuasan jauh lebih berharga dari itu semua.

No comments:

Post a Comment