Acute Mountain Sickness (AMS) adalah salah satu penyakit ketinggian yang setiap saat bisa menyerang para pendaki gunung. AMS muncul karena ketidakmampuan tubuh untuk beradaptasi dengan kondisi alam di dataran tinggi yang berbeda dengan di dataran rendah. Di dataran tinggi atau pegunungan, tekanan udara dan kadar oksigen lebih rendah dibanding di dataran rendah, hal ini menyebabkan tubuh kekurangan oksigen.
AMS atau altitude sickness atau penyakit ketinggian terjadi di ketinggian lebih dari 2.400 meter di atas permukaan laut. AMS bisa terjadi ketika seseorang naik ke dataran tinggi terlalu cepat atau kurang melakukan proses penyesuaian kondisi tubuh dengan ketinggian (aklimatisasi). Di ketinggian 5.000 meter di atas permukaan laut AMS lebih mudah menyerang para pendaki. Di ketinggian 8.000 meter di atas permukaan laut (death zone) pendaki normal butuh suplai oksigen dari tabung oksigen, kecuali mister Messner, Boukreev, dan para sherpa di Nepal sana.
Gejala AMS antara lain pusing, mual, kelelahan, tidak nafsu makan, dan malas beraktivitas/berkomunikasi (social withdrawl). Gejala- gejala itulah yang saya alami ketika mendaki Kerinci di tahun 2006. Pendakian yang saya lakukan bersama sahabat-sahabat terbaik saya; Amsi, Mpo, Pa'en, Koboy, dan Bocor. Namun saya baru menyadari bahwa saya terserang AMS sekitar empat atau lima tahun setelah pendakian tersebut. Untuk itu perlu kiranya saya jelaskan apa yang terjadi di Kerinci 2006 sebagai klarifikasi sekaligus menulis catper saya. #latepost
Karena saya mendapat jatah libur lebih banyak maka saya berangkat lebih awal ke Padang untuk bertemu dengan sanak saudara di Pariaman. Saya sempatkan pula mendaki solo ke Gunung Marapi di Padang Panjang. Setelah bersilaturahim di Pariaman dan raun ke Padang Panjang, di hari keempat barulah saya berangkat menuju Bandara Internasional Minangkabau untuk berkumpul bersama rekan lain yang akan mendaki Kerinci.
Lewat tengah malam kami berenam tiba di Pintu Rimba. Selang beberapa saat setelah meluruskan punggung, sekitar jam 9 pagi kami memulai pendakian. Sejak dari Pintu Rimba kami berjalan beriringan dengan kawan-kawan dari MU (Mapala Unand), kadang kami mendahului kadang kami didahului, tak jauh beda dengan metromini di jalanan ibukota.
Lepas tengah hari kami berpapasan dengan lebih banyak lagi rombongan pendaki. Usul dari guide kami, Koboy a.k.a Fatmawati, baiknya ada diantara kami yang mendaki lebih dulu agar bisa dapat lokasi bermalam yang ideal. Berangkatlah saya dan Pa'en meninggalkan Koboy, Bocor, Amsi, dan Mpo. Kami berjalan cukup cepat bahkan setengah berlari di medan-medan tertentu. Beberapa pendaki di depan sudah kami lewati. Nyaris tanpa masalah ketika kami melakukan sprint hiking dari pos III hingga shelter III (Pelawangan).
Menjelang maghrib kami sudah berada di pelawangan yang biasa dipakai sebagai tempat bermalam pendaki. Baru ada dua tenda berdiri disana. Masih cukup untuk lima atau enam tenda lagi. Jika area sudah penuh pendaki terpaksa mendirikan tenda diatas pelawangan yang memiliki kontur tanah miring dan rawan terpapar angin kencang, jelas bukan lokasi yang nyaman untuk bermalam.
Selepas maghrib dalam kondisi tertidur, saya dibangunkan oleh seorang pendaki yang mengabarkan kawan-kawan saya tertinggal di bawah dalam kondisi keletihan, saya diminta turun untuk membantu mereka. Kondisi saya saat itu masih bisa mendengar dan berfikir, dalam hati dan fikiran saya ingin turun dan menjemput kawan-kawan. Tapi kepala terasa berat dan tubuh sulit untuk diangkat. Saya pun kembali tertidur. Kemudian sayup-sayup saya mendengar suara para pendaki bercengkerama di luar tenda mereka, dan saya juga mendengar suara Amsi dan kawan-kawan yang sudah tiba di Pelawangan. Tapi saya tidak dapat melakukan aktivitas apapun dan masih saja tertidur.
Ketika Amsi dan kawan-kawan lain hendak muncak, saya pun ikut terbangun. Tapi kondisi saya masih seperti semalam. Saya hanya bisa melepas mereka muncak dengan fikiran berkecamuk, ingin rasanya bangun dan berangkat menuju puncak, tapi saya tidak sanggup. Kondisi saya tidak berbeda dengan semalam. Mengantuk, tertidur, terbangun sesaat lalu kembali tidur, namun otak masih mampu berfikir dan sulit sekali rasanya untuk mengusir kantuk.
Ketika matahari mulai meninggi barulah ada sedikit kekuatan untuk bangun dan menegakkan tulang punggung. Saya lihat Pa'en di sebelah juga tertidur tapi ikut terbangun ketika saya duduk. Akhirnya berdua kami berjalan menuju puncak tanpa ada satupun makanan masuk sejak semalam. Saya dapat mendaki normal, kantuk dan pusing sudah hilang. Yang tersisa hanya hilangnya nafsu makan dan malas beraktivitas. Saya bertemu dengan rombongan Amsi tepat di Tugu Yudha. Lalu saya dan Pa'en naik ke titik puncak, sementara yang lain menunggu di bawah agar dapat bersama-sama kembali ke tenda.
Sesampainya di tenda saya kembali merasakan pusing, mungkin karena panas matahari di Pelawangan. Saya coba untuk makan tapi perut menolak untuk diasupi makanan. Akhirnya saya kembali tidur dan terbangun ketika kawan-kawan sudah mulai packing ketika hendak turun. Saya fikir ini adalah pendakian terburuk saya, serangan kantuk dan sakit kepala amat menyiksa. Entah apakah kawan-kawan seperjalanan melihat keanehan pada diri saya di Kerinci?
Menjelang tengah hari akhirnya kami turun dari Pelawangan. Kurang lebih 15 menit sampailah kami di shelter II. Karena di shelter II ini terdapat sumber air, kami pun beristirahat sambil mengisi botol-botol yang sudah mulai kosong. Ajaib.. sekitar satu menit berada di shelter II saya merasa udara yang berbeda masuk ke dalam paru-paru saya, udara segar yang me-refresh otak saya. Dan setelah itu tubuh saya terasa lebih bugar, kepala menjadi ringan dan gairah pun muncul kembali. Pelan-pelan saya kembali menikmati perjalanan yang sejak semalam hingga siang tak saya rasakan. Saya mulai mampu berkomunikasi dan bercanda dengan kawan-kawan hingga perjalanan pulang.
Dan kini, saya cukup "bahagia" ketika menyadari saya pernah terkena AMS, setidaknya saya tidak perlu ke Himalaya untuk merasakan serangan AMS :p
AMS atau altitude sickness atau penyakit ketinggian terjadi di ketinggian lebih dari 2.400 meter di atas permukaan laut. AMS bisa terjadi ketika seseorang naik ke dataran tinggi terlalu cepat atau kurang melakukan proses penyesuaian kondisi tubuh dengan ketinggian (aklimatisasi). Di ketinggian 5.000 meter di atas permukaan laut AMS lebih mudah menyerang para pendaki. Di ketinggian 8.000 meter di atas permukaan laut (death zone) pendaki normal butuh suplai oksigen dari tabung oksigen, kecuali mister Messner, Boukreev, dan para sherpa di Nepal sana.
Gejala AMS antara lain pusing, mual, kelelahan, tidak nafsu makan, dan malas beraktivitas/berkomunikasi (social withdrawl). Gejala- gejala itulah yang saya alami ketika mendaki Kerinci di tahun 2006. Pendakian yang saya lakukan bersama sahabat-sahabat terbaik saya; Amsi, Mpo, Pa'en, Koboy, dan Bocor. Namun saya baru menyadari bahwa saya terserang AMS sekitar empat atau lima tahun setelah pendakian tersebut. Untuk itu perlu kiranya saya jelaskan apa yang terjadi di Kerinci 2006 sebagai klarifikasi sekaligus menulis catper saya. #latepost
Karena saya mendapat jatah libur lebih banyak maka saya berangkat lebih awal ke Padang untuk bertemu dengan sanak saudara di Pariaman. Saya sempatkan pula mendaki solo ke Gunung Marapi di Padang Panjang. Setelah bersilaturahim di Pariaman dan raun ke Padang Panjang, di hari keempat barulah saya berangkat menuju Bandara Internasional Minangkabau untuk berkumpul bersama rekan lain yang akan mendaki Kerinci.
Lewat tengah malam kami berenam tiba di Pintu Rimba. Selang beberapa saat setelah meluruskan punggung, sekitar jam 9 pagi kami memulai pendakian. Sejak dari Pintu Rimba kami berjalan beriringan dengan kawan-kawan dari MU (Mapala Unand), kadang kami mendahului kadang kami didahului, tak jauh beda dengan metromini di jalanan ibukota.
Lepas tengah hari kami berpapasan dengan lebih banyak lagi rombongan pendaki. Usul dari guide kami, Koboy a.k.a Fatmawati, baiknya ada diantara kami yang mendaki lebih dulu agar bisa dapat lokasi bermalam yang ideal. Berangkatlah saya dan Pa'en meninggalkan Koboy, Bocor, Amsi, dan Mpo. Kami berjalan cukup cepat bahkan setengah berlari di medan-medan tertentu. Beberapa pendaki di depan sudah kami lewati. Nyaris tanpa masalah ketika kami melakukan sprint hiking dari pos III hingga shelter III (Pelawangan).
Menjelang maghrib kami sudah berada di pelawangan yang biasa dipakai sebagai tempat bermalam pendaki. Baru ada dua tenda berdiri disana. Masih cukup untuk lima atau enam tenda lagi. Jika area sudah penuh pendaki terpaksa mendirikan tenda diatas pelawangan yang memiliki kontur tanah miring dan rawan terpapar angin kencang, jelas bukan lokasi yang nyaman untuk bermalam.
Selepas maghrib dalam kondisi tertidur, saya dibangunkan oleh seorang pendaki yang mengabarkan kawan-kawan saya tertinggal di bawah dalam kondisi keletihan, saya diminta turun untuk membantu mereka. Kondisi saya saat itu masih bisa mendengar dan berfikir, dalam hati dan fikiran saya ingin turun dan menjemput kawan-kawan. Tapi kepala terasa berat dan tubuh sulit untuk diangkat. Saya pun kembali tertidur. Kemudian sayup-sayup saya mendengar suara para pendaki bercengkerama di luar tenda mereka, dan saya juga mendengar suara Amsi dan kawan-kawan yang sudah tiba di Pelawangan. Tapi saya tidak dapat melakukan aktivitas apapun dan masih saja tertidur.
Ketika Amsi dan kawan-kawan lain hendak muncak, saya pun ikut terbangun. Tapi kondisi saya masih seperti semalam. Saya hanya bisa melepas mereka muncak dengan fikiran berkecamuk, ingin rasanya bangun dan berangkat menuju puncak, tapi saya tidak sanggup. Kondisi saya tidak berbeda dengan semalam. Mengantuk, tertidur, terbangun sesaat lalu kembali tidur, namun otak masih mampu berfikir dan sulit sekali rasanya untuk mengusir kantuk.
Ketika matahari mulai meninggi barulah ada sedikit kekuatan untuk bangun dan menegakkan tulang punggung. Saya lihat Pa'en di sebelah juga tertidur tapi ikut terbangun ketika saya duduk. Akhirnya berdua kami berjalan menuju puncak tanpa ada satupun makanan masuk sejak semalam. Saya dapat mendaki normal, kantuk dan pusing sudah hilang. Yang tersisa hanya hilangnya nafsu makan dan malas beraktivitas. Saya bertemu dengan rombongan Amsi tepat di Tugu Yudha. Lalu saya dan Pa'en naik ke titik puncak, sementara yang lain menunggu di bawah agar dapat bersama-sama kembali ke tenda.
Sesampainya di tenda saya kembali merasakan pusing, mungkin karena panas matahari di Pelawangan. Saya coba untuk makan tapi perut menolak untuk diasupi makanan. Akhirnya saya kembali tidur dan terbangun ketika kawan-kawan sudah mulai packing ketika hendak turun. Saya fikir ini adalah pendakian terburuk saya, serangan kantuk dan sakit kepala amat menyiksa. Entah apakah kawan-kawan seperjalanan melihat keanehan pada diri saya di Kerinci?
Menjelang tengah hari akhirnya kami turun dari Pelawangan. Kurang lebih 15 menit sampailah kami di shelter II. Karena di shelter II ini terdapat sumber air, kami pun beristirahat sambil mengisi botol-botol yang sudah mulai kosong. Ajaib.. sekitar satu menit berada di shelter II saya merasa udara yang berbeda masuk ke dalam paru-paru saya, udara segar yang me-refresh otak saya. Dan setelah itu tubuh saya terasa lebih bugar, kepala menjadi ringan dan gairah pun muncul kembali. Pelan-pelan saya kembali menikmati perjalanan yang sejak semalam hingga siang tak saya rasakan. Saya mulai mampu berkomunikasi dan bercanda dengan kawan-kawan hingga perjalanan pulang.
Dan kini, saya cukup "bahagia" ketika menyadari saya pernah terkena AMS, setidaknya saya tidak perlu ke Himalaya untuk merasakan serangan AMS :p
No comments:
Post a Comment