Alhamdulillah.. rasa syukur saya ucapkan kepada Allah SWT. Setelah pendakian terakhir di tahun 2008, akhirnya di tahun 2015 saya bisa kembali ke "rumah". Diawali dengan mengikuti kemah kepanduan di Gunung Pulosari (1346 mdpl), tidak muncak karena tujuannya hanya sampai kawah, tapi cukup untuk mengobati kerinduan pada suasana. Sementara perjalanan ke Semeru adalah perjalanan yang tertunda. Beberapa kali dibicarakan dan direncanakan, hingga akhirnya saya diberi kesempatan bercengkerama dengan pasir Semeru. Walhamdulillah.
Diawali petualangan di Kaskus mencari kawan jalan, hingga petualangan mencari tiket menuju Malang. Akhirnya saya bersama Nyoman dan Taufan bertualang bersama di Semeru. Kami berangkat dengan Matarmaja Lebaran, bergabung dengan pendaki-pendaki lain yang memanfaatkan libur lebaran untuk menyalurkan hobi mendaki gunung. Tepat pukul 05.10 Matarmaja memasuki Stasiun Malang Kota yang berada di ketinggian 444 mdpl. Setelah Shubuh kami berangkat ke Terminal Arjosari, walau di depan stasiun banyak mobil carteran yang langsung menuju Tumpang, namun kami putuskan untuk naik angkot menuju terminal lalu menuju Tumpang. Tumpang adalah nama sebuah kecamatan di kabupaten Malang. Pintu masuk ke area Taman Nasional Bromo Tengger Semeru.
Sebetulnya tanpa transit di Tumpang kita bisa langsung menuju pos pendakian Ranu Pane. Biasanya ini dilakukan mereka yang membawa kendaraan pribadi khususnya dari daerah sekitar Malang, mereka mengendarai motor/mobil hingga Ranu Pane. Sedangkan kami yang tidak membawa kendaraan pribadi, Tumpang menjadi tempat kami menyewa jip menuju Ranu Pane sekaligus membeli perbekalan pendakian. Letak kantor Perhutani yang dijadikan tempat transit dan pendaftaran pendaki cukup strategis. Terletak di dekat pasar Tumpang yang cukup besar untuk level kecamatan. Pasar, masjid, minimarket, warung makan, dan toko oleh-oleh mudah dicapai dari base camp Perhutani Tumpang.
Dari Tumpang kami naik jip terbuka dengan jumlah penumpang maksimal 12 orang. Perjalanan menuju Ranu Pane sekitar dua jam, dimana separuhnya dihabiskan di dalam area TNBTS. Kami sempat berhenti di tebing atas lautan pasir Tengger yang memang dibuat sebagai spot untuk beristirahat sambil menikmati keindahan komplek pegunungan TNBTS. Beberapa mobil pribadi juga menepi di spot ini, biasanya mereka berwisata di Bromo atau menyewa penginapan di sekitar Gubugklakah.
Setelah berdiri berdesakan diatas jip selama dua jam sampailah di desa Ranu Pane. Deretan rumah di sepanjang jalan desa Ranu Pane diakhiri dengan hamparan tanah lapang yang digunakan sebagai area parkir truk, jip dan penitipan motor pendaki. Di belakang tanah lapang itulah ranu (danau) pane berada. Danau seluas enam hektar yang kerap digunakan untuk tempat kemah dan rekreasi pendaki saat pendakian Semeru ditutup setiap awal tahun.
Hari ini Ranu Pane sesak, dipenuhi oleh pendaki dari berbagai daerah. Suatu kondisi yang tidak saya sukai, tapi inilah resiko pendakian pada peak season. Akibatnya muncul antrian di beberapa titik. Antrian di loket registrasi, antrian briefing pendakian, antrian di toilet umum, antrian di gerobag Bakso Malang, dan kelak juga antrian di jalur puncak. Tiga setengah jam waktu kami habiskan di Ranu Pane untuk istirahat, sholat, makan dan briefing pendakian. Tepat pukul 14.35 kami mulai mendaki.
Setelah melewati gapura pendakian dan ladang penduduk, kami langsung masuk ke dalam lebatnya hutan gunung jenis submontana yang banyak ditumbuhi pinus dan cemara, suasana khas pendakian gunung di Indonesia. Perjalanan empat jam dilalui dalam cengkraman pohon-pohon besar menjulang dan melewati gugusan dinding raksasa Watu Rejeng. Setelah melewati tiga pos pendakian yang tidak bisa kami masuki karena selalu ramai, tibalah kami di jantung hati-nya Semeru, Ranu Kumbolo.
Ranu Kumbolo adalah sebuah danau di ketinggian 2.400 meter dengan luas 14 hektar. Ranu Kumbolo terbentuk dari hasil letusan gunung Tengger kuno yang menyisakan kawah besar yang lambat laun penuh terisi air. Pemandangan yang eksotis dengan bebukitan yang mengelilingi dua buah camp area, ro-oro Ombo dan Ranu Kumbolo, membuat pendaki betah berlama-lama di Ranu Kumbolo. Mendaki Semeru zonder ngecamp di Ranu Kumbolo ibarat tamasya ke Jogja zonder singgah di Malioboro. Dan di Ranu Kumbolo juga dapat ditemukan bunga es yang biasanya muncul di rentang Agustus sampai September.
Keesokan harinya, setelah bermain-main di Ranu Kumbolo, pukul 10.00 kami berangkat dari Oro-oro Ombo mengitari gigiran bukit menuju camp area Ranu Kumbolo. Di camp area Ranu Kumbolo sangat padat dan ramai, riuh dan semarak. Jauh dari kesan "sedang berada di dalam hutan". Perjalanan selanjutnya menaklukkan tanjakan cinta yang legendaris, kemudian melewati padang sabana lavender yang saat itu belum mengungu. Selepas tengah hari kami sampai di Kalimati. Sambil beristirahat dan makan, kami sempatkan diri ke sumber air untuk refill air dan membersihkan badan.
Kalimati adalah tempat bermalam yang ideal bagi para pendaki sebelum meraih puncak, walau masih jauh dari puncak itu sendiri. Karena memang tidak ada lagi camp area yang cukup luas setelah Kalimati. Selain fasilitas MCK dan pondokan pendaki yang kadang ditempati oleh pedagang nasi, di Kalimati juga terdapat sumber air yang memancar cukup deras, pelepas dahaga yang sempurna setelah melakukan perjalanan melintasi padang sabana dan hutan cemara di siang hari.
Dari Kalimati inilah megahnya puncak semeru yang bernama Mahameru terlihat jelas, karena sepanjang perjalanan puncak Semeru ditutupi oleh pegunungan Ayek-ayek dan pegunungan Jambangan. Sekedar informasi bahwa gunung Semeru masuk dalam komplek pegunungan Tengger purbakala yang meletus dan "melahirkan" Gunung Semeru, Gunung Ayek-ayek, Gunung Jambangan, Gunung Kepolo, Gunung Bromo, Gunung Batok, Gunung Widodaren, Gunung Watangan, dan Gunung Kursi. Sebagian mereka berada di Segoro Wedi (lautan pasir) dengan Bromo sebagai icon-nya, dan sebagian lagi berada di kawasan hutan dengan Semeru menjadi panglima.
Dari Kalimati kami masih mendaki lagi mendekati Arcopodo, di sisi jalan yang sedikit miring namun cukup untuk menggelar tenda kami beristirahat. Pada dini hari, kala para pendaki mulai menapakkan kaki melintas di sisi tenda kami, suara sepatu dan canda mereka membangunkan kami. Setelah menyiapkan bekal kami pun ikut dalam rombongan pendaki yang mengular. Malam ini ramai sekali jalur puncak Semeru, ribuan langkah kaki diayunkan demi menggapai puncak yang diidamkan.
Setelah dua jam, perjalanan yang diawali canda kini terganti lenguhan nafas tersiksa, tersengal keletihan. Udara yang menipis, tapak kaki yang terus tersuruk seolah tak pernah maju, dan antrian yang menjengkelkan. Ujian maha berat bagi yang tak punya tekad. Sebuah antitesa dari kehidupan kota
yang mapan dan nyaman.
Akhirnya perjalanan lima jam ini berakhir pada sebuah titik seukuran lapangan bola yang di salah satu bagiannya tertancap sebuah Merah Putih dan plang bertuliskan "PUNCAK MAHAMERU 3676 MDPL". Disinilah pusat keramaian berada. Bahkan tercipta antrian untuk berfoto dengan bendera dan plang tersebut. Di bagian selatan atau arah berlawanan dengan jalur pendakian terdapat kawah Jonggring Seloka yang setiap belasan menit menyemburkan asap berdebum dan belerang menggelegak. Di sisi lain yang agak jauh tertanam antena pemancar aktivitas "perut" Semeru.
Pagi ini, kami berada di titik tertinggi Pulau Jawa. Memandang Samudra Hindia yang tenang di selatan. Menikmati kawanan gunung yang berderet sepanjang Sirkum Mediterania. Jalur pendakian yang kami lewati kemarin tampak di bawah terbentang indah, Kalimati, Jambangan, Cemoro kandang, dan Ranu Kumbolo.
Semakin siang sampai di puncak Mahameru semakin besar resiko menunggu. Suhu yang semakin panas, debu dan pasir yang mengganggu hidung dan mata, kebutuhan air yang meningkat karena panas, dan semburan gas vulkanik yang mengarah ke jalur pendakian. Idealnya, turunlah sebelum jam sembilan pagi agar resiko bisa diminimalisir. Turun dari puncak Semeru juga bukan hal mudah. Medan berpasir yang seolah "mengajak" pendaki turun dengan kecepatan tinggi bisa membuat hilang keseimbangan dan jatuh terpelanting. Batu-batu sebesar mesin cuci bisa menjadi bencana bagi pendaki di bawah. Dan bila tidak cermat memilih jalur turun, kita akan tersesat di area Blank 75 atau Semeru Death Zone.
Ranu Kumbolo selalu dingin, bahkan di sore hari ketika kami tiba disana untuk beristirahat dan sholat. Setelah gelap datang kami melanjutkan perjalanan melewati Oro-oro Ombo, hutan pinus, dan hutan batu Watu Rejeng. Menjelang dini hari kami tiba di camp Ranu Pane, gerobag Bakso Malang adalah target yang saya incar setelah target puncak tercapai. Tidak terlalu sulit, hanya butuh kesabaran menunggu antrian dan mangkuk yang kehabisan.
Ada beberapa pendaki yang berangkat malam-malam meninggalkan Ranu Pane menaiki truk sayur. Sedangkan kami memutuskan untuk kembali menggelar tenda, bermalam di depan pos Ranu Pane bersama pendaki lain. Beristirahat melepas kantuk dan penat. Tenda-tenda berwarna-warni tak mampu memberikan semangat penghuninya untuk terjaga, bahkan untuk sekedar menyaksikan bebintang yang ramai menghias langit.
Diawali petualangan di Kaskus mencari kawan jalan, hingga petualangan mencari tiket menuju Malang. Akhirnya saya bersama Nyoman dan Taufan bertualang bersama di Semeru. Kami berangkat dengan Matarmaja Lebaran, bergabung dengan pendaki-pendaki lain yang memanfaatkan libur lebaran untuk menyalurkan hobi mendaki gunung. Tepat pukul 05.10 Matarmaja memasuki Stasiun Malang Kota yang berada di ketinggian 444 mdpl. Setelah Shubuh kami berangkat ke Terminal Arjosari, walau di depan stasiun banyak mobil carteran yang langsung menuju Tumpang, namun kami putuskan untuk naik angkot menuju terminal lalu menuju Tumpang. Tumpang adalah nama sebuah kecamatan di kabupaten Malang. Pintu masuk ke area Taman Nasional Bromo Tengger Semeru.
Sebetulnya tanpa transit di Tumpang kita bisa langsung menuju pos pendakian Ranu Pane. Biasanya ini dilakukan mereka yang membawa kendaraan pribadi khususnya dari daerah sekitar Malang, mereka mengendarai motor/mobil hingga Ranu Pane. Sedangkan kami yang tidak membawa kendaraan pribadi, Tumpang menjadi tempat kami menyewa jip menuju Ranu Pane sekaligus membeli perbekalan pendakian. Letak kantor Perhutani yang dijadikan tempat transit dan pendaftaran pendaki cukup strategis. Terletak di dekat pasar Tumpang yang cukup besar untuk level kecamatan. Pasar, masjid, minimarket, warung makan, dan toko oleh-oleh mudah dicapai dari base camp Perhutani Tumpang.
Dari Tumpang kami naik jip terbuka dengan jumlah penumpang maksimal 12 orang. Perjalanan menuju Ranu Pane sekitar dua jam, dimana separuhnya dihabiskan di dalam area TNBTS. Kami sempat berhenti di tebing atas lautan pasir Tengger yang memang dibuat sebagai spot untuk beristirahat sambil menikmati keindahan komplek pegunungan TNBTS. Beberapa mobil pribadi juga menepi di spot ini, biasanya mereka berwisata di Bromo atau menyewa penginapan di sekitar Gubugklakah.
Setelah berdiri berdesakan diatas jip selama dua jam sampailah di desa Ranu Pane. Deretan rumah di sepanjang jalan desa Ranu Pane diakhiri dengan hamparan tanah lapang yang digunakan sebagai area parkir truk, jip dan penitipan motor pendaki. Di belakang tanah lapang itulah ranu (danau) pane berada. Danau seluas enam hektar yang kerap digunakan untuk tempat kemah dan rekreasi pendaki saat pendakian Semeru ditutup setiap awal tahun.
Hari ini Ranu Pane sesak, dipenuhi oleh pendaki dari berbagai daerah. Suatu kondisi yang tidak saya sukai, tapi inilah resiko pendakian pada peak season. Akibatnya muncul antrian di beberapa titik. Antrian di loket registrasi, antrian briefing pendakian, antrian di toilet umum, antrian di gerobag Bakso Malang, dan kelak juga antrian di jalur puncak. Tiga setengah jam waktu kami habiskan di Ranu Pane untuk istirahat, sholat, makan dan briefing pendakian. Tepat pukul 14.35 kami mulai mendaki.
Setelah melewati gapura pendakian dan ladang penduduk, kami langsung masuk ke dalam lebatnya hutan gunung jenis submontana yang banyak ditumbuhi pinus dan cemara, suasana khas pendakian gunung di Indonesia. Perjalanan empat jam dilalui dalam cengkraman pohon-pohon besar menjulang dan melewati gugusan dinding raksasa Watu Rejeng. Setelah melewati tiga pos pendakian yang tidak bisa kami masuki karena selalu ramai, tibalah kami di jantung hati-nya Semeru, Ranu Kumbolo.
Ranu Kumbolo adalah sebuah danau di ketinggian 2.400 meter dengan luas 14 hektar. Ranu Kumbolo terbentuk dari hasil letusan gunung Tengger kuno yang menyisakan kawah besar yang lambat laun penuh terisi air. Pemandangan yang eksotis dengan bebukitan yang mengelilingi dua buah camp area, ro-oro Ombo dan Ranu Kumbolo, membuat pendaki betah berlama-lama di Ranu Kumbolo. Mendaki Semeru zonder ngecamp di Ranu Kumbolo ibarat tamasya ke Jogja zonder singgah di Malioboro. Dan di Ranu Kumbolo juga dapat ditemukan bunga es yang biasanya muncul di rentang Agustus sampai September.
Keesokan harinya, setelah bermain-main di Ranu Kumbolo, pukul 10.00 kami berangkat dari Oro-oro Ombo mengitari gigiran bukit menuju camp area Ranu Kumbolo. Di camp area Ranu Kumbolo sangat padat dan ramai, riuh dan semarak. Jauh dari kesan "sedang berada di dalam hutan". Perjalanan selanjutnya menaklukkan tanjakan cinta yang legendaris, kemudian melewati padang sabana lavender yang saat itu belum mengungu. Selepas tengah hari kami sampai di Kalimati. Sambil beristirahat dan makan, kami sempatkan diri ke sumber air untuk refill air dan membersihkan badan.
Kalimati adalah tempat bermalam yang ideal bagi para pendaki sebelum meraih puncak, walau masih jauh dari puncak itu sendiri. Karena memang tidak ada lagi camp area yang cukup luas setelah Kalimati. Selain fasilitas MCK dan pondokan pendaki yang kadang ditempati oleh pedagang nasi, di Kalimati juga terdapat sumber air yang memancar cukup deras, pelepas dahaga yang sempurna setelah melakukan perjalanan melintasi padang sabana dan hutan cemara di siang hari.
Dari Kalimati inilah megahnya puncak semeru yang bernama Mahameru terlihat jelas, karena sepanjang perjalanan puncak Semeru ditutupi oleh pegunungan Ayek-ayek dan pegunungan Jambangan. Sekedar informasi bahwa gunung Semeru masuk dalam komplek pegunungan Tengger purbakala yang meletus dan "melahirkan" Gunung Semeru, Gunung Ayek-ayek, Gunung Jambangan, Gunung Kepolo, Gunung Bromo, Gunung Batok, Gunung Widodaren, Gunung Watangan, dan Gunung Kursi. Sebagian mereka berada di Segoro Wedi (lautan pasir) dengan Bromo sebagai icon-nya, dan sebagian lagi berada di kawasan hutan dengan Semeru menjadi panglima.
Dari Kalimati kami masih mendaki lagi mendekati Arcopodo, di sisi jalan yang sedikit miring namun cukup untuk menggelar tenda kami beristirahat. Pada dini hari, kala para pendaki mulai menapakkan kaki melintas di sisi tenda kami, suara sepatu dan canda mereka membangunkan kami. Setelah menyiapkan bekal kami pun ikut dalam rombongan pendaki yang mengular. Malam ini ramai sekali jalur puncak Semeru, ribuan langkah kaki diayunkan demi menggapai puncak yang diidamkan.
Setelah dua jam, perjalanan yang diawali canda kini terganti lenguhan nafas tersiksa, tersengal keletihan. Udara yang menipis, tapak kaki yang terus tersuruk seolah tak pernah maju, dan antrian yang menjengkelkan. Ujian maha berat bagi yang tak punya tekad. Sebuah antitesa dari kehidupan kota
yang mapan dan nyaman.
Akhirnya perjalanan lima jam ini berakhir pada sebuah titik seukuran lapangan bola yang di salah satu bagiannya tertancap sebuah Merah Putih dan plang bertuliskan "PUNCAK MAHAMERU 3676 MDPL". Disinilah pusat keramaian berada. Bahkan tercipta antrian untuk berfoto dengan bendera dan plang tersebut. Di bagian selatan atau arah berlawanan dengan jalur pendakian terdapat kawah Jonggring Seloka yang setiap belasan menit menyemburkan asap berdebum dan belerang menggelegak. Di sisi lain yang agak jauh tertanam antena pemancar aktivitas "perut" Semeru.
Pagi ini, kami berada di titik tertinggi Pulau Jawa. Memandang Samudra Hindia yang tenang di selatan. Menikmati kawanan gunung yang berderet sepanjang Sirkum Mediterania. Jalur pendakian yang kami lewati kemarin tampak di bawah terbentang indah, Kalimati, Jambangan, Cemoro kandang, dan Ranu Kumbolo.
Semakin siang sampai di puncak Mahameru semakin besar resiko menunggu. Suhu yang semakin panas, debu dan pasir yang mengganggu hidung dan mata, kebutuhan air yang meningkat karena panas, dan semburan gas vulkanik yang mengarah ke jalur pendakian. Idealnya, turunlah sebelum jam sembilan pagi agar resiko bisa diminimalisir. Turun dari puncak Semeru juga bukan hal mudah. Medan berpasir yang seolah "mengajak" pendaki turun dengan kecepatan tinggi bisa membuat hilang keseimbangan dan jatuh terpelanting. Batu-batu sebesar mesin cuci bisa menjadi bencana bagi pendaki di bawah. Dan bila tidak cermat memilih jalur turun, kita akan tersesat di area Blank 75 atau Semeru Death Zone.
Ranu Kumbolo selalu dingin, bahkan di sore hari ketika kami tiba disana untuk beristirahat dan sholat. Setelah gelap datang kami melanjutkan perjalanan melewati Oro-oro Ombo, hutan pinus, dan hutan batu Watu Rejeng. Menjelang dini hari kami tiba di camp Ranu Pane, gerobag Bakso Malang adalah target yang saya incar setelah target puncak tercapai. Tidak terlalu sulit, hanya butuh kesabaran menunggu antrian dan mangkuk yang kehabisan.
Ada beberapa pendaki yang berangkat malam-malam meninggalkan Ranu Pane menaiki truk sayur. Sedangkan kami memutuskan untuk kembali menggelar tenda, bermalam di depan pos Ranu Pane bersama pendaki lain. Beristirahat melepas kantuk dan penat. Tenda-tenda berwarna-warni tak mampu memberikan semangat penghuninya untuk terjaga, bahkan untuk sekedar menyaksikan bebintang yang ramai menghias langit.
No comments:
Post a Comment